}

Rabu, 24 April 2013

Puisi Alfry Limba

Tentang Sebuah Api Yang Berair 

 

Beta masih kenal sebuah api,
api yang lahir dari satu pohon,
dia turun ke tiga air batang.
Api yang lahir oleh karena air.
Api yang berair-air, itulah namanya.

Api yang kelahirannya berulang-ulang,
disambut mantra-mantra merdu yang direkam air,
dan diteruskan oleh air,
dari hulu ke hilir.
Api yang berair-air, itulah namanya.
Api yang bervakansi diiringi tarian-tarian,
tarian-tarian parang, tarian-tarian salawaku.
Tarian-tarian air, tarian-tarian moyang-moyang .
Yang dijaga dari tiupan angin-angin,
dari hena ke hena, aman ke aman, nusa ke nusa, pait ke manis.
Biar lampu raja tenggelam meniduri lautan,
“masih terang!”
Biar bulan pake payong kehujanan,
“masih sejuk!”
Sebab beta masih terang dan sejuk dalam sebuah pelukan api yang berair.
Api yang berair-air, itulah namanya.
Sampai suatu ketika,
Beta lihat dia di bendar, sudah duduk di kaderanya.
Dia terang, dia menerangi beta punya jalan.
Dia sejuk, dia menghapus beta punya dahaga.
Sebab, dialah api yang berair-air.
Dia menurunkan api dan air dari mulutnya,
tanpa berpikir turunnya lewat tangan kanan atau kiri.
Sebab itu, api yang terang, dan air yang sejuk,
tidak pernah beta lihat dimanapun, cuma dia!
Api yang berair-air itu telah lama ditumpahkan,
dia tertumpah namun tak pernah habis-habis.
Dia akan selalu ingin tumpah,
Selalu ingin tumpah,
Untuk menggenangi hatimu yang gelap, dan gerah itu.
Sebab dialah api yang berair-air!

 

Rumahtiga, 14 Februari 2013