Cengkeh dan Pala
Dengan
petuah wate,
beta
naik ke gunung orang-orang mati,
gunung
yang berjejeran kerko-kerko.
Guna
mengambil daun-daun wangi yang ilahi,
daun-daun
medikus,
daun-daun
ekonomis,
daun-daun
yang bertumpah darah.
Bukan
tuan,
bukan
hasil dari fotosintesismu yang sengsara itu,
yang
menjadi rebutan soldadu para mener-mener suruhan Nene Mina.
Beta naik
dengan nama bangsa,
dengan nama
moyang-moyang,
dengan
nama Maluku.
Karena
sungguh beta belum kenal dia.
“Di
pinggir setapak, jalan naik-naik, di belakang tapalang!”
Itulah
beta pung pelita yang dinyalakan wate tadi.
Beta
mendapati pohon Khuldi,
pohon
tentang bae deng tarbae.
Pohon
yang didefinisikan sendiri sedari kecil.
Beta sangka
ale, tuang hati jantong e!
Saule
bersabda, “bukang itu, sodara!”
Delapan
kaki besi bermesin terus mencari.
Mencari
daun-daun bangsa,
daun
moyang-moyang,
daun-daun
Maluku,
daun-daun
wangi yang ilahi,
daun-daun
medikus dan ekonomis,
daun-daun
bertumpah darah.
Biar
kaki kami bermesin, tapi kami lelah wate.
Beta
mangente ke kiri, kanan, atas, bawah,
tak ada
Api yang Berair!
Yang
menerangi jalan,
yang
menghapus dahaga.
“Ole sio, sayang la dilale.”
Katong
belum membiarkan api yang berair itu menggenangi hati,
hati
yang terlalu hati-hati.
Maaf
wate,
petuahmu
tak terbuahkan!
Maaf
atas semua pemanis sebagai uang muka,
yang
cuma menghasilkan dua buah kata; gagal dan rugi.
Cukup
sampai disitu wate,
beta
mesti minta maaf yang sebetul-betulnya,
pada
satu oknum,
dialah;
Maluku.
Maaf,
daun-daun bangsa,
daun
moyang-moyang,
daun-daun
wangi yang ilahi,
daun-daun
bertumpah darah.
Maaf,
Maluku!
Maaf
karena beta cuma mengenakan identitasmu,
namun
belum mengenalmu secara dalam.
Maaf
karena selama ini beta berpura-pura akrab denganmu,
namun
sebutir emas saja dari peti kaya sakralmu,
beta
belum kenal baik.
Bagaimana
dengan yang lain?
Untuk
beberapa saat,
beta malu
berteriak; Beta Maluku!
Namun
percayalah,
beberapa
saat setelah dan seterusnya,
beta
akan berani tabaos;
“BETA
MALUKU”
Rumahtiga, 17
Februari 2013